Selasa, 04 Oktober 2016

Sudut Pandang Masyarakat Yogyakarta Terhadap Pendatang

via : kompas.com

Di Yogyakarta terdapat setidaknya hampir mencapai 40-an universitas, perguruan tinggi, dan institut. Dengan jumlah yang bisa di katakan sangat banyak dalam 1 kota saja, maka pantas julukan kota pelajar di sematkan pada kota ini. Mahasiswanya pun, tidak hanya dari Yogyakarta, melainkan berasal dari seluruh penjuru Nusantara, mulai dari pulau Sumatra sampai papua semua ada di sini.

Menurut data statistik yang kami ambil dari bps Yogyakarta, total dari jumlah mahasiswa yang ada di jogja adalah D1 memiliki jumlah mahasiswa sebanyak 560 orang, D3 37.239 orang, D4 3.991 orang, S1 226.931 orang, S2 21.488 orang, S3 2.902, Sp-1 1.230 orang, dan Profesi 5.616 orang. Itu adalah jumlah total dari seluruh mahasiswa yang ada di jogja, dan hampir separuhnya adalah mahasiswa dari luar jogja yang memilih untuk melanjutkan pendidikan di kota jogja.

Dari data tersebut kita bisa mengetahui bahwa tidak semua mahasiswa yang kuliah di Yogyakarta adalah masyarakat Yogya asli, dan yang mencengangkan adalah jumlah nya hamper menyamai dengan mahasiswa yang berasal dari jogja sendiri.

“kalau menurut saya ya tidak apa apa karena memang saya melihat bahwa jogja telah menjadi kota dimana mempunyai universitas-universitas yang bagus di tingkat Indonesia, jadi ya kalau orang manapun entah berasal dari pulau jawa atau luar jawa pasti akan mempertimbangakn jogja sebagai tempat mereka meneruskan pendidikan karena terbukti bagus.” Kata Dwi Wicko, seorang mahasiswa kehutanan UGM yang asli berdomisili di kota Yogyakarta.

“dan dengan adanya mahasiswa yang dari luar jogja pun menjadi ada positifnya karena kan mereka berasal dari macam-macam dareah yang mempunyai adat dan budaya masing-masing, jadi kita selaku orang jogja asli juga dapat mengenal budaya Indonesia lebih luas lagi dengan adanya teman-teman mahasiswa luar jogja.” Tambah Wicko.

 “asalkan kita tetap saling menjaga kelakuan dan sopan santun saya rasa kerukunan antar mahasiswa juga bisa tetap terjaga dengan baik, ya intinya saling menghormati, untuk para perantau juga agaknya bisa menyesuaikan diri dengan budaya dan adat jogja yang mungkin tidak mereka lakukan/temukan di daerahnya maisng-masing, mau bagaimanapun kan mereka tinggal di jogja dan menginjak tanah jawa jadi ya harus saling menghormati mas.” Tambah wicko menjelaskan lebih lanjut.

Dari sudut pandang mahasiswa asli jogja mereka kebanyakan menyambut positif lalu bagaimana dengan para mahasiswa pendatang?
“saya bersyukur bisa melanjutkan pendidikan di kota istimewa ini, sebagai mahasiswa pendatang saya juga harus bisa deradaptasi dengan budaya dan lingkungan di jogja karena itu sangat di perlukan untuk saling menghormati satu sama lain”. Ujar Ida Mahasiswa Biologi UNY yang berasal dari kota Balikpapan.

Pudarnya kearifan lokal

via : tourdeasean.blogspot.com

Yogyakarta dikenal sebagai kota para pendatang, baik untuk mengadu nasib maupun menuntut ilmu. Bagi sebagian besar orang yang mengenal kota pelajar ini, Yogyakarta merupakan kota yang nyaman, sehingga membuat para pendatang tertarik untuk menetap di Jogja. Dengan meningkatnya jumlah pendatang membuat pertumbuhan penduduk di Yogyakarta juga meningkat. Hal ini membuat kearifan warga lokal menghilang dengan sendirinya.”Jogja tak seindah dulu”, tutur Musida warga lokal Yogyakarta. 

Indah disini berarti nyaman. Pada tahun 2006 Jogja masih terasa sangat nyaman dan tentram, kearifan warga lokal masih terjaga dengan baik. Pada awal tahun 2010 Yogyakarta mulai terasa berbeda karena banyaknya pendatang yang menetap, terutama mahasiswa yang setelah lulus pun bekerja lalu memiliki keluarga dan pada akhirnya menetap di Yogyakarta. Pada saat itu lah Yogyakarta mulai berubah sehingga kearifan aslinya mulai memudar. 

Kearifan yang sekarang sudah memudar adalah kesopanan orang Yogyakarta yang terkenal dengan tutur kata yang lembut menjadi bahasa yang bercampur dibawa oleh pendatang sehingga identitas nya hilang. Memang tidak sepenuhnya memudar tetapi hanya beberapa yang masih menjaga kearifan lokal tersebut.

Usaha kost

via : tokopedia.com

Dengan banyaknya pendatang tidak dipungkiri telah memberikan peluang usaha bagi warga lokal. Sehingga meminimalkan tingkat pengganguran yang ada. Seperti, meningkatnya mahasiswa dapat memberikan peluang bagi warga lokal untuk membuat usaha kost atau rumah makan. Ini tentu saja memberikan dampak positif pagi warga agar tidak merantau ke kota lain, sehingga warga yang menetap dapat menjaga kearifan lokalnya. “Pendatang memberikan dampak negatif dan positif yang berkesinambungan” tutur Bagiyo. Hal negatif dan positif memang tidak bisa saling berdiri sendiri. Ada warga yang menerima namun juga ada yang tidak. Tapi hal ini bisa diterima ketika warga lokal dengan pendatang saling menerima kehadiran dan saling menghargai.

Bagi Karina yang merupakan salah satu pemilik kost di daerah jalan kaliurang km8 yogyakarta. “ kost disini banyak yang dari Kalimantan, tapi ada juga yang dari Cilacap, Sumatera juga ada, lebih banyak dari luar Jawa, bisa kenal orang dari daerah mana aja” ungkapnya.

Pertukaran budaya

via : news.okezone.com

Banyak pengaruh yang diberikan oleh pendatang terutama dalam hal budaya. Budaya yang berbeda memberikan pengaruh yang besar bagi warga lokal. Dengan budaya baru yang masuk bercampur dengan budaya lokal akan menghasilkan budaya baru. Seperti warga Yogyakarta terbiasa dengan unggah ungguhnya, namun budaya selain Jogja belum tentu terbiasa sehinnga ini mempengaruhi dan menciptakan budaya baru yaitu warga lokal yang meninggalkan kebiasaan aslinya lalu mengikuti budaya yang di bawa oleh pendatang. Di sisi lain, pendatang tidak selalu memberikan nilai negatif. Mereka juga memberikan nilai-nilai positif terhadap warga lokal yaitu pembaharuan pola pikir. Dimana warga lokal yang kebanyakan masih berfikir mitos kemudian dengan datang nya pendatang mengubah pola pikir menjadi rasional.

Rawan konflik

via : nytimes.com

Dari segi pandang beberapa mahasiswa asli Yogya ada positif dan negati pendatang semakin banyak datang ke Yogyakarta. Seperti yang disampaikan oleh Ulfa Atiqah Sari mahasiswi semester 3 di YKPN “positifnya sih menghargai keberagaman ya, karena orang jogja juga welcome orangnya beberapa ngga masalah kalo ada pendatang. Negatifnya ya bikin macet terus pembangunan mall dan hotel yang makin menuhin setiap sudut Jogja sama banyak yang memicu konflik dari luar. Banyak pendatang sih fine-fine aja, asal bisa membaur dan ngga bikin bentrok-bentrok tauran gitu.” Ujar mahasiswi jurusan akuntansi ini. Ulfa sendiri menyayangkan sikap mereka yang terkadang membuat resah masyarakat dengan tindakan-tindakan yang berujung konflik, baik demo maupun aksi kekerasan.

Hal ini juga diakui oleh Tutik istri Kepala Dukuh “dari tahun ketahun di yogya pendatang semakin meningkat, sekarang macet udah dimana mana, sama kadang khawatir juga kalau banyaknya pendatang yang ngga mengikuti aturan di yogya, kaya konflik pendatang dulu itu, jadi takut sendiri, kalau memang mau tinggal di yogya ya harus mengikuti aturan di Yogya” tuturnya.

Dengan adanya rasa hormat dan saling peduli satu sama lain, maka kerukunan antar mahasiswa bisa terjaga dengan baik. Dan untuk para pendatang juga mempunyai perkumpulanya sendiri dari daerah dimana mereka berasal jadi tak perlu khawatir jika suatu saat mereka rindu dengan kampong halaman karena biasanya perkumpulan mahasiswa daerah juga mempunyai agenda untuk menyatukan dan mengakrabkan mahasiswa dari daerah masing-masing dengan sebuah pertunjukan seni dan sebagainya. (DEP/KQ/ASM/JEG)